Senin, 20 Juni 2011

PEMBANGKIT LISTRIK IPST SARBAGITA

PENGOLAHAN SAMPAH TPA SARBAGITA
 MENJADI BAHAN BAKU PEMBANGKIT LISTRIK DENGAN TEKNOLOGI IPST SARBAGITA

Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita di Provinsi Bali bisa menjadi contoh bagi kerja sama antar daerah dalam mengelola sampah. Kuncinya, kerja sama tersebut hanya dan hanya dapat terwujud apabila masing-masing pihak (pemda) merasakan bahwa kerja sama itu suatu kebutuhan dan merupakan pilihan terbaik dalam penyelesaian masalah yang ada.
Di wilayah Bali Selatan (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan) berdasarkan hasil studi pada tahun 2000/2001, jumlah anggota masyarakat yang mendapatan pelayanan pengangkutan sampah baru mencapai 50%, dan dari jumlah tersebut hanya 60% sampah yang bisa terangkut ke TPA. Sisanya masih tercecer diberbagai tempat seperti di jalanan, taman kota, pasar, dll. Upaya minimalisasi sampah ke tempat pembuangan akhir melalui perubahan perilaku masyarakat belum memberikan hasil yang menggembirakan.
Dari aspek keuangan, untuk pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah menunjukkan gambaran yang suram. Terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara anggaran biaya pengelolaan persampahan dengan penerimaan dari retribusi sampah.
Atas dasar permasalahan tersebut maka keempat daerah di Bali Bagian Selatan yang disebut Sarbagita (Kabupaten/Kota Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), sepakat untuk meratifikasi kesepakatan kerja sama untuk menangani masalah persampahan secara regional melalui koordinasi kesatuan tindak perencanaan dan pengelolaan persampahan secara terpadu dan komprehensif, agar segala upaya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan hasil studi PPP-SWM (1999) volume sampah yang dihasilkan dari keempat daerah ini di tahun 2002 mencapai 3000 m3/hari atau sekitar 1000 ton/hari, dimana 70% di antaranya adalah sampah organik. Volumenya meningkat tiap tahun. Sementara sarana dan prasarana yang dimiliki tiap pemda terbatas, termasuk masalah sulitnya mencari TPA baru. Apalagi ada aturan agama Hindu yang melarang pembangunan sebuah unit bangunan berbau ‘kotor’ di hulu, tapi harus di hilir. Sedangkan memposisikan TPA pada lokasi yang dekat dengan laut/pantai bukan pekerjaan mudah, sebab hampir semua pantai yang ada di wilayah Sarbagita mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Kenyataan inilah yang mendorong terjadinya kerja sama. Pengelolaan yang semakin baik dengan sistem pengelolaan yang semakin efisien, profesional serta penggunaan teknologi tepat guna menjadi hal yang sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka berkembang pemikiran untuk melakukan pengembangan satu lokasi pengelolaan sampah masa depan yang tunggal berskala regional dan berfungsi sebagai IPST (Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu).

Secara umum, proses teknologi pada IPST SARBAGITA dapat dijelaskan, yaitu
1.Pemisahan Awal
Sampah yang akan diterima di TPA SARBAGITA diperkirakan 800 ton/hari. Dengan komposisi 75% sampah organik dan 25% sampah non organik, dengan  keadaan 55% sampah organik basah dan 20% sampah organik kering. Sampah non organik sebagian berupa plastik dan kertas. Diperkirakan 175 ton/hari sampah dapat menghasilkan sekitar 2.5 MW listrik.
Diperkirakan sekitar 1 H lahan dibutuhkan untuk TPA Sarbagita, penggunaan lahan minimal untuk jangka waktu 20 tahun.
Tujuan pengolahan sampah
1) Mengolah sampah untuk dijadikan produk (output) yang bernilai ekonomi;
2) Meminimalisasi dampak lingkungan terhadap kehidupan sekitar dan merehabilitasi lahan TPA;
3) Menyatukan kegiatan pemanfaatan nilai ekonomis sampah (organik dan non organik) menjadi listrik, kompos, bahan daur ulang dan produk ekonomi lainnya;
4) Membuka peluang kerja dan peluang ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat sekitar;
5) Memperpanjang usia pakai TPA karena jumlah sampah yang terbuang ke landfill sangat minimal.
Agar proses konversi energi sampah dapat berjalan baik, maka dilakukan pemisahan sampah dalam kategori sebagai berikut:Pertama Sampah organik bio-degradasi (baik basah maupun kering), contoh: sampah buah-buahan, dan sampah sayuran; Sampah organik yang diproses di IPST SARBAGITA umumnya berasal dari sampah rumah tangga, kompleks perumahan, dan pasar-pasar tradisional. Sampah-sampah organik ini dikumpulkan untuk selanjutnya akan diangkut oleh truk-truk pengangkut sampah yang memang bertugas untuk mengangkut sampah-sampah organik ini yang kemudian akan dibawa ke TPA Suwung dan kemudian diproses di IPST SARBAGITA.
Kedua sampah organik non-biodegradasi (baik basah maupun kering), contoh: plastik dan kayu; Pihak pengelola TPA Suwung dan IPST SARBAGITA juga melakukan kerjasama dengan para pemulung untuk membantu mengumpulkan sampah-sampah non-organik, khususnya sampah plastik. Pihak pengelola TPA Suwung dan IPST SARBAGITA menyediakan tempat khusus bagi para pemulung untuk mengumpulkan dan memilah sampah-sampah yang mereka dapatkan. Pihak pengelola juga menyediakan truk-truk pengangkut sampah yang juga dapat mengangkut sampah nonorganik.
Ketiga sampah inert, contoh: besi, kaca, sisa bahan bangunan
Setelah dilakukan pemisahan diatas, maka sampah selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin pencacah (shreder) untuk menyaring dan memisahkan sampah beradasarkan ukurannya. Proses ini dilaksanakan di dalam bangunan MRF (Material Recycle Facility).
Dengan beberapa tingkat penyaringan, sebuah tangki pengapung (floating tank), dan beberapa metode lain, sampah dapat dipisah-pisah menjadi bagian-bagian yang disebutkan diatas. Kemudian sampah dimasukkan kedalam mesin pemecah (shredder) untuk dipecah-pecah menjadi lebih kecil dan memiliki ukuran-ukuran yang sama agar kemudian dapat digunakan sesuai proses konversi energi yang dipilih. Sampah yang kering, dibuat menjadi lebih kering dengan menggunakan suatu pengering (dryer). Seluruh proses ini sedapat mungkin dilaksanakan di dalam ruangan sehingga bau sampah tidak menyebar ke area sekitar instalasi.

2.Landfill Gas
Tujuan dari pemakaian gas dari landfill adalah untuk menghindarkan gas metan yang sangat beracun lepas dari tumpukan sampah dimana dalam banyak kasus telah ditumpuk jauh sebelum sistem GALFAD ini diterapkan.
Landfill adalah suatu proses pengambilan gas methan dari tumpukan sampah lama (landfilling). Tumpukan sampah lama ditutup dengan lapisan tanah untuk menghindari lepasnya gas methan yang sangat berbahaya bagi lingkungan (karena gas ini mudah terbakar). Selanjutnya, jaringan pipa gas perforasi dimasukkan ke dalam tumpukan sampah untuk menyedot gas methan menuju fasilitas gas treatment.
Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal – proses aerobik) dan menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.

Gambar  2: Modern Landfill. Konsep landfill seperti di atas ialah sebuah konsep landfill modern yang di dalamnya terdapat suatu sistem pengolahan produk buangan yang baik.
Secara garis besar, ada empat tahapan untuk memanfaatkan timbunan sampah itu menjadi energi listrik.
·         Pertama, sampah ditimbun ke dalam lubang tanah seluas 20 x 100 meter persegi dengan kedalaman tertentu. Kemudian, ditambahkan mikroba pengurai.

·         Kedua, memasang selimut plastik hitam di timbunan sampah tersebut dengan tujuan agar gas yang daya rusaknya 21 kali C02 itu tidak beterbangan dan merusak ozon.
·         Ketiga, memasang pipa-pipa karet di tumpukan sampah tersebut untuk mengalirkan gas metan yang diproduksi timbunan sampah itu.
·         Keempat, gas tersebut dimasukkan ke dalam boks kondensasi untuk memisahkan gas metan dari air. Gas itulah yang kemudian dialirkan untuk menggerakan generator.

3.Proses Anaerobis Diggestion
Anaerobic digestion adalah suatu proses produksi metana dan humus dari penguraian sampah dan bahan organik lainnya (Tchobanoglous et al,1993). Sebagaimana disebutkan bahwa metoda anaerobik merupakan suatu teknologi yang mengubah bahan organik dengan menggunakan bakteri dalam kondisi anaerob untuk menghasilkan biogas dan cairan yang banyak sekali mengandung padatan /bahan penyubur (Wikipedia, 2005). Penguraian bahan organik juga melibatkan tahapan biologis, di mana pada suatu tahapan bakteri, dalam kelas tertentu, menyerap energi dari bahan organik yang terdekomposisi secara perlahan untuk mempertahankan hidup. Pada tahapan terakhir akan dihasilkan air, karbon dioksida, dan metana. Sel bakteri yang mati bercampur dengan bahan organik yang sulit terurai yang akan membentuk suatu lumpur yang kaya nutrisi.
Proses tersebut dapat terjadi dalam kondisi kering ataupun basah. Pada kondisi kering, campuran harus mengandung 30% padatan atau lebih. Sedangkan pada kondisi basah, campuran harus mengandung 15% padatan atau kurang (Wikipedia, 2005). Tchobanoglous, Theissen, dan Vigil (1993) menyebutkan bahwa lama waktu yang dibutuhkan oleh proses anaerobik adalah 30 hari. Sebagaimana yang disebutkan oleh Garcelon dkk (dalam Indartono, 2005a) bahwa produksi gas metana yang optimum akan terjadi pada hydrolic retention time (HRT) 20 – 30 hari. Garcelon dkk juga menyebutkan bahwa keasaman substrat / media gas bio dianjurkan berada pada rentang pH 6,5 – 8 dan temperatur 35 0C sebagai temperatur optimal. Akan tetapi Ariani dan Latifi menyebutkan bahwa temperatur optimum pengolahan dengan metoda anaerobik ini adalah 330 – 38 0C. Pada proses anaerobik sekitar 1/3 campuran bahan organik akan terdegradasi (Guebelin, 2002). Proses Anaerobic Diggestion, maka dilakukan untuk pengelolaan sampah basah pada structured landfill dengan melibatkan bakteri, yaitu bakteri EM4 yang tipenya sama dengan bakteri yang menghasilkan landfill gas dan sewage gas. Bakteri ini juga berfungsi untuk mengurangi bau bususk yang ditimbulkan oleh sampah Penguraian oleh bakteri biasanya akan menghasilkan bio gas dan membutuhkan waktu antara 1 sampai 2 minggu serta kontrol yang baik untuk menjamin kesempurnaan proses sanitasi. Sesudah proses ini selesai, sisa proses yang berbentuk padat dapat diambil dari bagian dasar digester. Apabila ingin digunakan sebagai pupuk yang berkualitas tinggi, sisa ini dialirkan melalui screw press and filter. Bahan yang kering dipisahkan dan selama 2 minggu mengalami proses pengomposan secara aerobik. Cairan dibawa ke tangki denitrifikasi kemudian menuju tangki aerasi nitrifikasi untuk menyempurnakan proses aerasi. Sisa – sisa produk lain dibiarkan atau dikeringkan. Air hasil proses dapat diolah kembali atau langsung disalurkan kembali ke awal proses. Hasil dari seluruh ketiga proses ini adalah biogas yang dimasukan terlebih dahulu ke dalam fasilitas pengolahan gas sebelum menjadi gas bahan bakar bagi mesin pembangkit listrik. Sebuah ilustrasi dapat diambil yaitu: fasilitas pengolahan sampah dengan kapasitas pengolahan 400 ton/ hari dapat menghasilkan listrik kurang lebih sebesar 10 MW secara kontinyu.
 Sisa padat dari proses ini dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk berkualitas tinggi dengan menerapkan teknologi pengolahan kompos lanjutan. Sedangkan sisa air hasil proses dapat diolah kembali atau langsung disalurkan kembali ke awal proses. Dengan teknologi ini, maka volume sampah dapat berkurang menjadi 10%-15% dari volume awal.

4.Gasifikasi dan Pyrolisis
Gasifikasi adalah proses dekomposisi termal dari bahan organik dengan mengurangi keberadaan oksigen. Gasifikasi dan Pyrolisis merupakan proses yang pemanasannya dilakukan dengan suhu, bukan dengan api dan dilakukan dalam ruang hampa. Proses ini dapat mengubah sampah organik kering menjadi synthetic gas (karbon monoksida dan hidrogen) dalam sebuah gasifier yang kemudian dapat dipakai untuk menggerakkan gas engine sebagai mesin pembangkit listrik. Gasifier pada dasarnya bukanlah teknologi baru karena sudah diterapkan secara komersil di Inggris selama 10 tahun. Gasifikasi juga merupakan proses penghancuran tampak dengan energi panas 1300oC yang dilakukan dalam ruang hampa, jadi tidak menggunakan oksigen. Yang perlu diingat pada proses ini bukanlah pembakaran, tetapi pemanasan sampai sampah itu berubah menjadi gas dan abu. Dalam proses ini sampah akan direduksi sebanyak 55 – 98%,
            Gasifikasi  adalah suatu teknologi proses yang mengubah bahan padat menjadi gas. Bahan padat yang dimaksud adalah bahan bakar padar termasuk didalamnya, biomass, batubara, dan arang dari proses oil refinery. Gas yang dimaksud adalah gas-gas yang keluar dari proses gasifikasi dan umumnya berbentuk CO, CO2, H2, dan CH4.
Gasifikasi berbeda dengan pirolisis dan pembakaran. Ketiga dibedakan berdasarkan kebutuhan udara yang diperlukan selama proses. Jika jumlah udara/bahan bakar (AFR, air fuel ratio) sama dengan 0, maka proses disebut pirolisis. Jika AFR yang diperlukan selama proses kurang dari 1.5, maka proses disebut gasifikasi. Jika AFR yang perlukan selama proses lebih dari 1.5, maka proses disebut pembakaran (lihat gambar berikut).
  

  Gambar 2. Perbedaan pirolisis, gasifikasi dan pembakaran.
Mesin gasifikasi dapat dibedakan berdasar: Berdasar mode fluidisasi. Berdasar arah aliran. Berdasar gas yang perlukan untuk proses gasifikasi. Berdasar mode fluidisasi, mesin gasifikasi dapat dibedakan menjadi gasifikasi unggun tetap (fixed bed gasification), gasifikasi unggun bergerak (moving bed gasification), gasifikasi unggun terfluidisasi (fluidized bed gasification), dan entrained bed. Jenis gasifikasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
  

                        Gambar 3. Perbedaan moving bed, fluid bed, dan entrained bed gasifier [*].
            Berdasar arah aliran, mesin gasifikasi dapat dibedakan menjadi gasifikasi aliran searah (downdraft gasification) dan gasifikasi aliran berlawanan (updraft gasification). Pada gasifikasi downdraft, arah aliran gas dan arah aliran padatan adalah sama-sama ke bawah. Pada gasifikasi updraft, arah aliran padatan ke bawah sedangkan arah aliran gas ke atas.
Berdasar gas yang perlukan untuk proses gasifikasi, terdapat gasifikasi udara dan gasifikasi uap. Gafisikasi udara, dimana gas yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah udara. Gasifikasi uap, gas digunakan untuk proses adalah uap.

 
                                 Gambar 4. Konvensional gasifikasi sistem updraft dan downdraft .
            Secara skematik, gasifikasi downdraft dan updraft dapat dilihat pada Gambar di atas.
Berikut beberapa sejarah keberhasilan perkembangan gasifikasi. Di Finlandia, aktivitas riset dan pengembangan gasifikasi dimulai tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, aplikasi gasifikasi sederhana sistem udara pertama dilakukan dan utamanya dikombinasikan dengan pembangkit panas dan pembakaran kapur (lime kiln). Selanjutnya tahun 1986 berhasil dibangun gasifikasi sistem updraft yang menghasilkan panas 5 MWth. Pada tahun yang hampir bersamaan, gasifikasi sistem CFB (circulating fluidized bed) juga dibangun dengan daya keluaran 15-35 MWth untuk kebutuhan industri bubur-kertas (pulp). Pada tahun 1990-an, IGCC (integrated gasification combined cycle) juga diperkenalkan, tetapi karena kebutuhan daya yang sangat besar menjadi kendala pengembangan lebih lanjut. Umumnya sistem gasifikasi biomass hanya layak untuk skala kecil menengah sampai daya 10 MWe.
Gambar 5 . Gasifikasi Bioner di Finlandia .

            Dengan sistem updraft, biomass dimasukkan dari atas reaktor. Adanya udara dan uap dari bawah reaktor yang bergerak ke atas menyebabkan biomass akan mengalami serangkaian proses. Selama perjalanan biomass dari atas reaktor sampai ke bawah, biomass akan mengalami pengeringan, pirolisis, gasifikasi dan pembakaran. Abu dikeluarkan dari bagian bawah reaktor. Gas hasil proses gasifikasi sistem updraft mengandung minyak dan tar dalam jumlah yang banyak. Temperatur gas yang dihasilkan adalah rendah (80-300oC untuk biomass atau 300-600oC untuk batubara). Abu bawah (bottom ash) umumnya terbakar sempurna dan menyisakan arang tidak terbakar dalam jumlah yang bisa diabaikan. Dust yang dihasilkan juga relatif rendah karena kecepatan gas yang digunakan juga rendah dan disebabkan juga oleh adanya “efek penyaringan” pada daerah pengeringan dan pirolisis .
Karena jumlah tar yang dihasilkan cukup banyak, maka gas-gas dari hasil gasifikasi ini tidak bisa langsung dimasukkan ke dalam mesin pembakaran dalam (IC, internal combustion). Karena tar jugalah, sehingga sistem pemipaan perlu dibersihkan per 2-6 minggu sekali tergantung jenis bahan bakar yang digunakan.
  
Hasil Pengolahan dan Produk IPST
Dengan seluruh proses di atas maka volume sampah dapat berkurang sampai 80%. Gas yang dihasilkan (biogas gas, methane gas, dan synthetic gas) selanjutnya akan diproses pada fasilitas gas treatment untuk dapat menjadi bahan bakar (gas engine) mesin pembangkit listrik. Mesin pembangkit yang akan digunakan adalah gas engine buatan Jenbacher AG, Austria. Jenbacher adalah manufaktur mesin yang berpengalaman dalam membuat gas engine untuk pemakaian spesial gas, seperti biogas dan syn-gas.
Mikroturbin merupakan teknologi pemulihan energi landfill gas (LFG) terutama pada landfill yang kecil dimana pembangkit listrik yang besar tidak layak disebabkan faktor ekonomi dan jumlah LFG yang sedikit. Beberapa proyek LFG mikroturbin telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan keuntungan dan resikonya.
Mikroturbin diperkenalkan sebagai teknologi distribution generation (DG) yang secara umum hanya cocok digunakan pada jumlah aplikasi yang relatif kecil (kurang dari 1 MW) dan didesain untuk kebutuhan energi di sekitar tempat mikrotubin berada. 30 kW mikroturbin dapat menggerakkan motor 40 hp atau menyediakan kebutuhan listrik pada 20 rumah.

Teknologi mikroturbin
Teknologi mikroturbin didasarkan  pada desain turbin dengan pembakaran tinggi yang digunakan pada energi listrik dan industri penerbangan. Secara umum mikroturbin bekerja sebagai berikut:
  1. Bahan bakar dialirkan ke bagian combustor mikroturbin pada tekanan 70 – 80 psig,
  2. Udara dan bahan bakar dibakar pada combustor, menghasilkan kalor yang menyebabkan gas pembakaran keluar,
  3. Gas pembakaran yang keluar akan mengoperasikan generator, lalu generator akan menghasilkan listrik,
  4. Untuk menambah efisiensi total, mikroturbin biasa dioperasikan dengan recuperator yang mampu melakukan pemanasan awal udara pembakaran menggunakan gas keluaran turbin. Mikroturbin juga cocok dioperasikan dengan waste heat recovery unit untuk memanaskan air.
   
                      Secara umum skema proses mikroturbin diilustrasikan di bawah ini.
Gambar 6 Skema mikroturbin
Secara umum instalasi mikroturbin LFG-fired mempunyai komponen antara lain:
• Kompresor LFG
• Peralatan prapengolahan LFG (untuk uap air, siloxanes (R2SiO), dan pemindah partikulat)
• Mikroturbin
• Pusat kontrol motor
• Switchgear
• Transformer step-up

                                                     Gambar 7 Cross section mikroturbin
Prapengolahan bahan bakar diperlukan tergantung pada karakteristik LFG dan pembuat mikroturbin itu sendiri. Kadang-kadang gas didinginkan untuk menghilangkan uap air dan mengondensasikan pengotor. Lalu dipanaskan ulang untuk menyediakan bahan bakar di atas temperatur dew point. Beberapa pembuat mikroturbin menambahkan langkah absorpsi menggunakan karbon aktif untuk menghilangkan semua pengotor yang terlihat.

Aplikasi Mikroturbin
Mikroturbin menyediakan keuntungan lebih dibandingkan teknologi pembangkit listrik lainnya untuk landfill dengan kondisi:
• Laju alir LFG rendah,
• LFG memilki kandungan metana yang rendah,
• Memiliki pengemisi udara, terutama pengolah NOx,
• Listrik yang digunakan hanya pada fasilitas onsite (pada daerah sekitar mikroturbin berada),
• Penyediaan listrik tidak bisa dan harga listrik tinggi,
• Air panas dibutuhkan pada lokasi yang dekat mikoturbin.
Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan mikroturbin yang memanfaatkan gas metan hasil proses landfill dibandingkan dengan teknologi utilisasi LFG lain adalah sebagai berikut:
1. Portable and easily sized
Mikroturbin dapat ditempatkan pada tempat yang berkapasitas kecil dengan beberapa unit mikroturbin. Sehingga satu atau banyak mikroturbin dapat diatur menyesuaikan laju alir gas dan peralatan lain pada tempat tersebut. Mikroturbin juga dapat dengan mudah dipindahkan ke tempat lain saat produksi gas berkurang.
2. Fleksibel
Mikroturbin cocok digunakan pada landfill yang kecil dan telah lama digunakan di mana teknologi pembangkit tenaga listrik tradisional tidak lagi mendukung kualitas dan kuantitas LFG
3. Compact and fewer moving parts
Ukuran mikroturbin kira-kira sebesar lemari es besar dan membutuhkan operasi dan maintenance yang minimum. Penggunaan udara dan udara pendingin generator akan meminimumkan penggunaan pelumas dan sistem air pendingin.
4. Polusi emisi yag rendah
Mikroturbin dapat membakar bersih daripada mesin reciprocating lain. Contohnya tingkat emisi NOx untuk mikroturbin antara dari 1 -10%.
5. Mampu membakar dengan kandungan metana rendah
Mikroturbin dapat beroperasi pada LFG dengan kandungan metana 35% atau kurang dari 30%, sedangkan reciprocating beroperasi dengan kandungan metana 40%.
6. Kemampuan untuk menghasilkan kalor dan air panas
Kebanyakan pembuat mikroturbin menawarkan generator air panas untuk menghasilkan air panas (lebih dari 200oF) dari kalor yang keluar dari gas cerobong. Pilihan ini akan menggantikan bahan bakar yang mahal seperti propana yang dibutuhkan untuk memanaskan air pada cuaca dingin.
Namun demikian, pemilihan teknologi ini sebagai pilihan utilitas LFG memiliki beberapa kerugian sebagai berikut :
  1. Mikroturbin mempunyai efisiensi yang rendah dari mesin reciprocating dan tipe turbin lainnya. Mikrotubin mengonsumsi sekitar 35% bahan bakar per kWh yang dihasilkan (menghasilkan laju kalor yang besar).
  2. Mikroturbin sensitif terhadap kontaminasi siloxane dan penyediaan LFG ke mikroturbin membutuhkan prapengolahan daripada sumber pembangkit listrik lain.
  3. Dikarenakan laju alir rendah, maka dibutuhkan kompresor bertekanan tinggi (capital cost yang tinggi).
  4. Mikroturbin belum terbukti dapat beroperasi pada jangka panjang.

Buangan gas dengan teknologi ini memiliki emisi yang sangat rendah dan ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat pads tabel berikut dibandingkan dengan teknologi pembakaran modern (Insinerator)
Rencana Pengamanan dan Pelestarian Lingkungan
1. Pengamanan Terhadap Tata Perairan
a. Leachate hasil proses clekomposisi sampah diolah di Instalasi Pengolahan Leachate;
b. Kualitas air tanah dimonitor rutin melalui sumur pantau


Gambar 8 : Mesin Pembangkit Listrik

Pengamanan Terhadap Berbagai Gangguan Lainnya
a. Kemungkinan erosi dan longsor – Area IPST dilengkapi saluran drainase dan kemiringan timbunan dan tanah penutup maksimum 30%;
b. Kemungkinan gangguan bau dan pencemaran udara – di sekeliling IPST ditanami tanaman penyangga serta untuk mencegah terjadinya akumulasi gas, area isolasi sampah dilengkapi dengan pipa ventilasi gas (pipa pelepas tekan);
c. Kemungkinan penebaran sampah dan pembiakan serangga – residu sampah yang masuk area isolasi diberi lapisan tanah penutup (lapisan penutup harian, lapisan penutup antara dan lapisan penutup akhir);
d. Kemungkinan gangguan estetika/ keindlahan pandangan – lokasi dipagar dan diberi tanaman barrier;
e. Kebersihan lingkungan clan jalur angkutan – truk sampah sebelum meninggalkan lokasi telah dibersihkan

6.Kualitas Emisi Gas Buang
Buangan gas dengan teknologi ini memiliki emisi yang sangat rendah dan ramah lingkungan. Buangan gas ini memiliki emisi yang rendah karena telah mengalami berbagai macam proses penyaringan dan pengurangan emisi.
Dengan IPST, maka sampah yang ada di TPA Suwung, baik sampah baru maupun sampah lama akan diolah melalui teknologi GALFAD (Gasifikasi, Landfill, dan Anaerobic Digestion) menjadi listrik (energi) dan produk-produk lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat dan memberikan kontribusi ekonomi bagi kedua belah pihak. Untuk menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar, maka Pemda SARBAGITA dan Swasta berkomitmen untuk meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya dengan mengembangkan dan melaksanakan program rehabilitasi dan pelestarian lingkungan yang melibatkan masyarakat sekitar. Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar juga dilakukan dengan adanya komitmen bersama dengan memberikan kesempatan kerja kepada penduduk sekitarnya untuk menjadi tenaga operasional sesuai kemampuan persyaratan teknis yang diperlukan. Dalam hal ini, mitra swasta juga memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan alih teknologi kepada tenaga kerja lokal sepanjang persyaratan pendidikan dan teknis memungkinkan. Berbagai upaya diatas merupakan upaya bersama untuk membangun sinergi antar pemerintah, swasta, masyarakat, dan lingkungan sehingga IPST dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan berkelanjutan.
Untuk menunjang operasional pengolahan sampah, maka IPST SARBAGITA memiliki sejumlah fasilitas-fasilitas. IPST SARBAGITA memiliki kantor administrasi yang terletak di TPA Suwung. Kantor administrasi ini berfungsi sebagai tempat pemantauan utama kegiatan yang dilaksanakan di IPST SARBAGITA dan juga sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui berbagai macam hal mengenai IPST SARBAGITA. Selain kantor administrasi yang bertempat di TPA Suwung, pihak pengelola IPST SARBAGITA, yaitu Badan Pengelola Kebersihan SARBAGITA (BPKS) juga memiliki kantor di Gedung III Lantai 3 Bappeda Provinsi Bali, Jl. Kapten Cok Agung Tresna, Niti Mandala Renon, Denpasar-Bali. Untuk proses pemilahan dan pengolahan sampah, IPST SARBAGITA memiliki berbagai macam fasilitas-fasilitas misalnya, infrastruktur seperti jalan, jembatan timbang, ruang pembilahan, cell landfill, ruangan konversi gas dan listrik, buffer untuk sampah, ruang pengeringan/ ruang untuk penyerakan sampah, dan lain – lain. Sebagian besar dari fasilitas pengolahan dan pemilahan sampah ini masih milik investor pembangun IPST SARBAGITA, yaitu PT. Navigat Organic Energi Indonesia (PT. NOEI).
Alat - alat yang digunakan untuk konversi listrik dan pembilahan menggunakan teknologi, seperti semi teknologi. Teknologi ini dilakukan dengan memasukkan sampah dalam roda berjalan yang kemudian akan diambil oleh sekitar 60 orang pekerja untuk dipilah atau diambil, ada yang mengambil plastik, kaleng, kaca, dan lain – lain. Teknologi yang digunakan adalah semi teknologi dan multimedia yaitu sampah yang tidak diambil akan terus lanjut sampai ke cell landfill yang berupa kumpulan sampah organik. Setelah penuh, sampah-sampah tersebut akan ditutup dengan membrane. Di IPST SARBAGITA ini tersedia 11 cell, misalnya cell 1 sudah penuh kemudian dilanjutkan ke cell 2, dan seterusnya. Untuk memenuhkan 1 cell kira-kira butuh waktu 1 bulan.

Manfaat Pembangunan IPST SARBAGITA
Pembangunan IPST SARBAGITA di TPA Suwung memberikan banyak manfaat tidak hanya bagi kebersihan lingkungan, tetapi juga pembangunan IPST SARBAGITA dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Sebelum dibangunnya IPST SARBAGITA, sampah-sampah yang berasal dari daerah SARBAGITA (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan) ditumpuk begitu saja di TPA Suwung. Ini menyebabkan lahan TPA Suwung habis dipergunakan sebagai tempat penumpukan sampah tanpa adanya proses pengolahan sampah lebih lanjut. Jika hal seperti ini terus terjadi, dikhawatirkan lahan di TPA Suwung nantinya tidak dapat menampung sampah lagi. Menurut Bapak Ir. Kadek Agus Adiana, MM selaku Kepala Bidang Pengembangan Usaha Badan Pengelola Kebersihan SARBAGITA (Kabid Pengembangan Usaha BPKS SARBAGITA), adanya pengolahan sampah di IPST SARBAGITA dapat memberikan manfaat, yaitu memperpanjang usia lahan di TPA Suwung. Jika sampah ditumpuk begitu saja tanpa adanya proses pengolahan sampah lebih lanjut, lahan yang dipergunakan untuk tempat penumpukan sampah akan mengalami proses pencemaran akibat air-air sampah yang masuk ke dalam tanah. Air-air sampah ini akan terbentuk bila sampah ditumpuk terlalu lama. Belum lagi tumpukan sampah dapat menimbulkan bau yang tidak enak jika tidak cepat dilakukan proses pengolahan sampah lebih lanjut. Pengolahan sampah yang dilakukan di IPST SARBAGITA dapat memperpanjang usia lahan di TPA Suwung karena sampah tidak mengalami proses penumpukan yang lama dan cepat dapat diolah, sehingga air-air sampah dan bau yang tidak enak dapat diminimalkan jumlahnya. Selain dapat memperpanjang usia lahan di TPA Suwung, pembangunan IPST SARBAGITA juga dapat memberikan kontribusi dalam bidang ekonomi. Hasil-hasil pengolahan sampah di IPST SARBAGITA yang sebagian besar hasil pengolahannya dalam bentuk listrik dapat dijadikan salah satu sumber pendapatan ekonomi. Hasil-hasil pengolahan sampah lainnya dalam bentuk pupuk dan dalam bentuk abu sebagai salah satu bahan baku pembuatan aspal karena memiliki kadar karbon yang tinggi juga dapat dijadikan produk untuk memberikan pendapatan ekonomis.
Selain bermanfaat untuk lingkungan dan memberikan pendapatan ekonomis, pembangunan IPST SARBAGITA juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar yang tinggal di sekitar TPA Suwung. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan khusus diberikan kesempatan untuk bekerja sebagai tenaga kerja di IPST SARBAGITA. Masyarakat yang dulunya tidak memiliki sumber penghasilan tetap, kini memiliki penghasilan tetap akibat adanya pembangunan IPST SARBAGITA.
Pihak pengelola IPST SARBAGITA dan investor pembangunan IPST SARBAGITA, yaitu PT. Navigat Organic Energy Indonesia (PT. NOEI) berkomitmen untuk tetap menjaga kelestarian hutan bakau yang terdapat di sekitar IPST SARBAGITA dan TPA Suwung. Komitmen ini dilakukan untuk tetap menjaga ekosistem laut dan satwa-satwa yang hidup di sekitar hutan bakau. Proses pengolahan sampah yang dilakukan di IPST SARBAGITA dilakukan sedemikian rupa agar hasil-hasil pengolahan sampah tidak mencemari hutan bakau dan ekosistemnya.

Kamis, 16 Juni 2011

Permasalahan DAS Brantas

Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Sungai Bengawan Solo. Sungai kebanggaan masyarakat Jawa Timur ini memiliki luas area sekitar 12.000 km persegi dan panjang sungai mencapai 320 km. Sungai Brantas bersumber dari Sumber Brantas Kota Batu, tepatnya di lereng Gunung Arjuna dan Anjasmara, lalu mengalir ke Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya ke Surabaya (Selat Madura atau Laut Jawa). Jumlah penduduk di wilayah tersebut mencapai 14 juta jiwa atau 40 persen di antara total penduduk Jawa Timur. Sungai Brantas merupakan sumber utama kebutuhan air baku untuk konsumsi domestik, irigasi, kesehatan, industri, rekreasi, pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.
                                   DAS Brantas Malang, East Java

Namun, kondisi Sungai Brantas saat ini ternyata memprihatinkan, meski diakui fungsinya sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Tingkat pencemaran sungai ini telah melewati ambang batas dan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota perairan serta kesehatan penduduk yang memanfaatkan air sungai. Bahan pencemar berasal dari limbah domestik, limbah pertanian, limbah taman rekreasi, limbah pasar, limbah hotel, limbah rumah sakit, dan limbah industri. Pembuangan sampah di sepanjang sempadan maupun langsung ke aliran Sungai Brantas bisa merugikan penduduk sekitar dan di kawasan yang lebih rendah. Sampah yang menumpuk menimbulkan bau busuk karena fermentasi, menjadi sarang serangga dan tikus, serta bisa menimbulkan kebakaran karena adanya gas metana di tumpukan sampah.
Air yang mengenai sampah akan mengandung besi, sulfat, dan bahan organik yang tinggi ditambah kondisi BOD (bio chemical oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang melebihi standar air permukaan. Hasil pengukuran turbiditas air Sungai Brantas di Kota Malang, daerah yang masih tergolong sebagai hulu, menghasilkan kisaran angka 14 hingga 18 mg/l. Kisaran itu telah melebihi kekeruhan maksimum (5 mg/l) yang dianjurkan dari Baku Mutu Air pada Sumber Air Golongan A (Kep 02/MENKLH/I/1988).
Ditinjau dari rasa, air Sungai Brantas juga tidak sesuai baku mutu (Sunarhadi dkk 2001). Faktanya, terdapat sekitar 330 ton per hari limbah cair dihasilkan dari aktivitas manusia di sepanjang DAS Brantas. Sekitar 483 industri mempunyai pengaruh secara langsung terhadap Sungai Brantas dengan kontribusi pencemaran hingga 125 ton per hari (Antara News, 2006).
Hasil penelitian ECOTON menunjukkan, bahwa di Kali Surabaya sebagai hilir Sungai Brantas saat ini setiap hari 74 ton BOD dibuang di kali tersebut. Pencemaran logam berat merkuri di Kali Surabaya, pada beberapa lokasi, menunjukkan 0,09 mg/L atau 90 kali lipat dari standar ketentuan tentang peruntukan kelas air sebagai bahan baku air minum sebesar 0,001 mg/L.
Tingkat kontaminasi bakteri e-coli juga tidak jauh berebda. Bakteri e-coli umumnya berasal dari kotoran manusia. Bakteri e-coli di Karang Pilang dan Ngagel/Jagir mencapai 64.000 sel bakteri/100 ml contoh air. Padahal, sebagai bahan baku air minum, jumlah e-coli dalam air tidak boleh melebihi 1.000 sel bakteri/100 ml contoh air.
           Kondisi makin memprihatinkan karena bantaran DAS Brantas di Jawa Timur mengalami perubahan fungsi. Meski kawasan bantaran sungai telah ditetapkan sebagai kawasan hijau, sebagian besar bataran sungai beralih fungsi, tidak sesuai peruntukannya.
Tingginya tingkat pencemaran di Sungai Brantas otomatis berdampak signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran. Kali Surabaya sebagai hilir Sungai Brantas, contohnya. Berdasar data RSUD dr Soetomo yang dirilis ECOTON (2008), 2-4 persen penduduk yang terdiri atas anak-anak (0-18 tahun) mengidap kanker.
Sebanyak 59 persen adalah kanker leukemia, neuroblastoma (kanker saraf), limfoma (kanker kelenjar getah bening), dan tumor wilms (kanker ginjal). Faktor dominan penyebab kanker adalah lingkungan, genetis, virus, dan bahan kimia. Daerah aliran sungai yang menjadi tempat tinggal pengidap kanker ini sudah terkontaminasi bahan pencemar, baik limbah industri, rumah tangga, maupun persawahan.

Pencemaran Tanah

Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya akan unsur hara.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Salah satu diantaranya, penyelenggaraan pembangunan di Tanah Air tidak bisa disangkal lagi telah menimbulkan berbagai dampak positif bagi masyarakat luas, seperti pembangunan industri dan pertambangan telah menciptakan lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya. Namun keberhasilan itu seringkali diikuti oleh dampak negatif yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Pembangunan kawasan industri di daerah-daerah pertanian dan sekitarnya menyebabkan berkurangnya luas areal pertanian, pencemaran tanah dan badan air yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil/produk pertanian, terganggunya kenyamanan dan kesehatan manusia atau makhluk hidup lain. Sedangkan kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan tanah, erosi dan sedimentasi, serta kekeringan. Kerusakan akibat kegiatan pertambangan adalah berubah atau hilangnya bentuk permukaan bumi (landscape), terutama pertambangan yang dilakukan secara terbuka (opened mining) meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan bumi. Untuk memperoleh bijih tambang, permukaan tanah dikupas dan digali dengan menggunakan alat-alat berat. Para pengelola pertambangan meninggalkan areal bekas tambang begitu saja tanpa melakukan upaya rehabilitasi atau reklamasi.
Dampak negatif yang menimpa lahan pertanian dan lingkungannya perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena limbah industri yang mencemari lahan pertanian tersebut mengandung sejumlah unsur-unsur kimia berbahaya yang bisa mencemari badan air dan merusak tanah dan tanaman serta berakibat lebih jauh terhadap kesehatan makhluk hidup. Berdasarkan fakta tersebut, sangat diperlukan pengkajian khusus yang membahas mengenai pencemaran tanah beserta dampaknya terhadap lingkungan di sekitarnya.


 Gambaran dari Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya.

 Dampak yang Ditimbulkan Akibat Pencemaran Tanah
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat pencemaran tanah, diantaranya adalah :
1. Pada kesehatan
Dampak pencemaran tanah terhadap kesehatan tergantung pada tipe polutan, jalur masuk ke dalam tubuh dan kerentanan populasi yang terkena.Kromium, berbagai macam pestisida dan herbisida merupakan bahan karsinogenik untuk semua populasi. Timbal sangat berbahaya pada anak-anak, karena dapat menyebabkan kerusakan otak, serta kerusakan ginjal pada seluruh populasi.
Paparan kronis (terus-menerus) terhadap benzena pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan kemungkinan terkena leukemia. Merkuri (air raksa) dan siklodiena dikenal dapat menyebabkan kerusakan ginjal, beberapa bahkan tidak dapat diobati. PCB dan siklodiena terkait pada keracunan hati. Organofosfat dan karmabat dapat menyebabkan gangguan pada saraf otot. Berbagai pelarut yang mengandung klorin merangsang perubahan pada hati dan ginjal serta penurunan sistem saraf pusat. Terdapat beberapa macam dampak kesehatan yang tampak seperti sakit kepala, pusing, letih, iritasi mata dan ruam kulit untuk paparan bahan kimia yang disebut di atas. Yang jelas, pada dosis yang besar, pencemaran tanah dapat menyebabkan Kematian.

2. Pada Ekosistem
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida atas.
 Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut. Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan  terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.

PENANGANAN YANG HARUS DILAKUKAN
Ada beberapa langkah penangan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh pencemaran tanah. Diantaranya adalah :
1. Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang  tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi. Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.

Sebelum melakukan remediasi, hal yang perlu diketahui:
 1. Jenis pencemar (organic atau anorganik), terdegradasi/tidak, berbahaya/tidak,
 2. Berapa banyak zat pencemar yang telah mencemari tanah tersebut,
 3. Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan Fosfat (P),
 4. Jenis tanah,
 5. Kondisi tanah (basah, kering),
 6. Telah berapa lama zat pencemar terendapkan di lokasi tersebut,
 7. Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).
 Remediasi On-site dan Off-site
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.

2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Atau Bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi  polutan di lingkungan.
Bioremediasi adalah proses penguraian limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol,  mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. 
Yang termasuk dalam polutan-polutan antara lain :
           - logam-logam berat,
           -  petroleum hidrokarbon, dan
           - senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida dll. 
Tujuan Bioremediasi : untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Kelebihan teknologi ini adalah:
            1. Relatif lebih ramah lingkungan,
            2. Biaya penanganan yang relatif lebih murah
            3. Bersifat fleksibel. 
Saat bioremediasi terjadi, enzim” yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, disebut biotransformasi.
Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pendekatan umum untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi/ biodegradasi adalah dengan cara:
(i)                 seeding, mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)         
(ii)               feeding, memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Bioremediasi terbagi 2 :
      1. In situ : dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar  2. Ex situ : tanah tercemar digali dan dipindahkan ke dalam penampungan yang lebih terkontrol. Lalu diberi perlakuan khusus dengan memakai mikroba.
       Bioremediasi ex-situ bisa lebih cepat dan mudah dikontrol. Dibanding in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam.
Ø      Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi:
1.      Stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb
2.      Inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus
3.   Penerapan immobilized enzymes
4.  Penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.
  
Kunci sukses bioremediasi adalah :
 1. Dilakukan karakterisasi lahan (site characterization) :
sifat dan struktur geologis lapisan tanah, lokasi sumber pencemar perkiraan banyaknya hidrokarbon yang terlepas dalam tanah. sifat-sifat lingkungan tanah : derajat keasaman (pH), temperatur tanah,  kelembaban hingga kandungan kimia yang sudah ada, kandungan nutrisi, ketersediaan oksigen.mengetahui keberadaan dan jenis mikroba yang ada dalam tanah.
 2. Treatability study.
Sesudah data terkumpul, kita bisa melakukan modeling untuk menduga pola distribusi dan tingkat pencemarannya. Salah satu teknik modeling yang kini banyak dipakai adalah bioplume modeling dari US-EPA. Di sini, diperhitungkan pula faktor perubahan karakteristik pencemar akibat reaksi biologis, fisika dan kimia yang dialami di dalam tanah.
Rekayasa genetika terkadang juga perlu jika mikroba alamiah tak memuaskan hasilnya.
Treatability study juga akan menyimpulkan apakah reaksi dapat berlangsung secara aerobik atau anaerobik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen” yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba” memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan.
Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.
  
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
1. Biostimulasi
      Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
2. Bioaugmentasi
     Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat.

Hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan:
            Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.

3. Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah proses bioremediasi yang menggunakan berbagai tanaman untuk menghilangkan, memindahkan, dan atau menghancurkan kontaminan dalam tanah dan air bawah tanah. Konsep penggunaan tanaman untuk penanganan limbah dan sebagai indikator pencemaran udara dan air sudah lama ada, yaitu fitoremediasi dengan sistem lahan basah, lahan alang-alang dan tanaman apung. Selanjutnya konsep fitoremediasi berkembang untuk penanganan masalah pencemaran tanah. Secara tradisional, tanaman telah lama digunakan untuk proses penjernihan air. Mekanisme yang terjadi adalah proses koagulasi menggunakan ekstrak tanaman yang bersifat koagulan.
Tanaman enceng gondok (Eichornia crassipes) telah lama digunakan untuk pengolahan air limbah secara tradisional. Di daerah hilir banyak saluran-saluran air yang dipenuhi dengan enceng gondok, yang secara alami dapat membersihkan air limbah. Tanaman air lain seperti kapu-kapu (Pistia stratiotes) dan kiambang (Salvinia natans) juga dapat dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah. Akhir-akhir ini tanaman alangalang juga dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah menggunakan sistem wetland (lahan basah). Jenis alang-alang yang sudah dicoba digunakan adalah Phragmites australis, Typha latifolia, dan Schoenoplectus lacustris.
Fitoremediasi dapat dilakukan secara in situ (langsung di tempat terjadinya pencemaran), maupun secara ex situ atau menggunakan kolam buatan yang merupakan bioreaktor besar untuk penanganan limbah. Tanaman dapat digunakan secara langsung dalam bentuk alaminya lengkap terdiri bagian akar, batang, dan daun, maupun dalam bentuk kultur jaringan tanaman. Adanya batas konsentrasi polutan yang dapat ditolelir oleh tanaman, menyebabkan teknik fitoremediasi biasanya menggunakan jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap polutan tertentu. Konsentrasi polutan yang tinggi melebihi batas toleran menyebabkan tanaman mengalami stres dan akhirnya mati, pada kondisi seperti ini diperlukan pengenceran atau dikombinasikan dengan metode lain. Tanaman secara umum hanya dapat hidup pada limbah dengan BOD kurang dari 300 miligram per liter.
Tanaman dapat membersihkan polutan dari tanah, air maupun udara, dengan berbagai cara. Tanaman dapat merusak atau merombak polutan organik, maupun menyerap dan menstabilisasi logam polutan. Dalam hal ini polutan organik dapat dibersihkan oleh tanaman melalui satu mekanisme atau kombinasi proses-proses fitodegradasi, rizodegradasi, dan fitovolatilisasi. Polutan organik seperti crude oil, pelarut, dan polyaromatic hydrocarbons (PAHs) telah dibuktikan dapat diatasi dengan teknik ini. Sedang polutan logam berat dan unsur radioaktif dapat dibersihkan oleh tanaman melalui proses fitoekstraksi/fitoakumulasi, rizofiltrasi, dan atau fitostabilisasi.

1. Biodegradasi dalam rizosfer
Dalam proses ini, tanaman mengeluarkan senyawa organik dan enzim melalui akar(disebut eksudat akar), sehingga daerah rizosfer merupakan lingkungan yang sangat
baik untuk tempat tumbuhnya mikroba dalam tanah. Mikroba di daerah rizosfer akanmempercepat proses biodegradasi kontaminan.

2. Fitostabilisasi
Dalam proses stabilisasi, berbagai senyawa yang dihasilkan oleh tanaman dapat mengimobilisasi kontaminan, sehingga diubah menjadi senyawa yang stabil. Tanaman mencegah migrasi polutan dengan mengurangi runoff, erosi permukaan,
dan aliran air bawah tanah.
  
3. Fitoakumulasi (fitoekstraksi)
Akar tanaman dapat menyerap kontaminan bersamaan dengan penyerapan nutrien dan air. Massa kontaminan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian trubus dan daun tanaman. Metode ini digunakan terutama untuk menyerap limbah yang mengandung logam berat.

4. Rizofiltrasi (Sistem hidroponik untuk pembersihan air)
Rizofiltrasi prinsipnya sama dengan fitoakumulasi, tetapi tanaman yang digunakan untuk membersihkan ditumbuhkan dalam media cair (sistem hidroponik). Sistem ini dapat digunakan untuk mengolah air bawah tanah secara ex-situ. Air bawah tanah dipompa ke permukaan untuk diolah menggunakan tanaman. Sistem hidroponik memerlukan media cair buatan yang dikondisikan seperti dalam tanah, misalnya diberi campuran pasir dan mineral perlit, atau vermikulit. Setelah tanaman jenuh dengan kontaminan, kemudian dipanen dan diproses lanjut.
5. Fitovolatilisasi
Dalam proses ini, tanaman menyerap air yang mengandung kontaminan organik melalui akar, diangkut ke bagian daun, dan mengeluarkan kontaminan yang sudah didetoksifikasi ke udara melalui daun.
6. Fitodegradasi
Kontaminan organik diserap ke dalam tanaman. Dalam proses metabolisme, tanaman dapat merombak kontaminan di dalam jaringan tanaman menjadi molekul yang tidak bersifat toksis.

7. Pengendalian hidrolis
Tanaman yang berbentuk pohon, secara tidak langsung dapat membersihkan lingkungan, dengan cara mengendalikan pergerakan air bawah tanah. Pohon merupakan pompa alami, saat akar yang berada pada lapisan air bawah tanah menyerap air dalam jumlah besar. Sebagai contoh satu pohon Poplar dapat menyerap 30 galon air per hari. Pohon Cottonwood dapat menyerap lebih dari 350 galon per hari.